Oh Bama! It’s So Hillary-ous..: Analisis Strategi Komunikasi Pemasaran Politik Calon Presiden Amerika Serikat 2008
(The Political Marketing Communication Analysis of the US Presidential Candidates 2008)
Oleh: B. S. Wijaya
DOI: 10.13140/2.1.2699.9840
Abstract: The election of U.S. presidential candidate of the Democratic Party in 2008 that exposes Obama versus Hillary has left the important lessons for studies of the political marketing communications. Obama with a background of black race and Hillary with gender background as woman had carved out a new history in the politics of the United States. This article analyzes the competitive landscape of the two candidates with the unique backgrounds, respectively, viewed from the perspective of political marketing communications. Obama’s victory meant that American voters preferred sexist issues that connote gender rather than racial issues, so that candidate who comes from a black race still selected, what is important is the issues that represent the ‘machismo’ America as a strong world leader. Continue reading
Murahnya Sebuah Harga Diri
Kajian Kritis Iklan Indosat Rp 0,-
Di sebuah rumah gadai (pelelangan) bergaya interior Eropa klasik.
Seorang juru lelang (dengan gayanya yang berapi-api) membuka sesi penawaran kepada peserta untuk mendapatkan penawar tarif terendah. Seorang wanita separuh baya bergaun ala bangsawan Eropa dengan lagak penuh percaya diri mengacungkan board bertuliskan angka 10. Namun tak lama kemudian seorang laki-laki berpakaian rapi ala bandit elit dengan lagak misterius mengacungkan angka 3. Sang juru lelang semakin semangat menawarkan kepada peserta lain untuk memberikan harga yang lebih rendah. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh subur dengan raut wajah sinis dan angkuh mengacungkan angka 1. Di pikirannya, angka 1 pasti tak ada lagi yang mengalahkan. Tak ada lagi tawaran nilai yang lebih rendah dari angka 1. Continue reading
Model Semiotika TTS (Redekonstruksi)
Kajian Kritis Semiotika Dekonstruksi Derrida
Oleh: Bambang Sukma Wijaya
Derrida, melalui teori semiotika Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran.
Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi. Continue reading
AUDIT KOMUNIKASI
Oleh: B. S. Wijaya
Audit berarti “pemeriksaan” (Dhanny R Cyssco: Kamus Standar Lengkap Inggris-Indonesia, BIP). Audit merupakan suatu evaluasi menyeluruh terhadap suatu proses, kegiatan, sistem, program. The most general definition of an audit is an evaluation of a person, organization, system, process, project or product. Audits are performed to ascertain the validity and reliability of information, and also provide an assessment of a system’s internal control. The goal of an audit is to express an opinion on the person/organization/system etc. under evaluation based on work done on a test basis. Due to practical constraints, an audit seeks to provide only reasonable assurance that the statements are free from material error (www.wikipedia.org).
Dari pengertian di atas, maka Audit Komunikasi adalah suatu bentuk evaluasi menyeluruh terhadap proses komunikasi suatu lembaga atau perorangan. Audit Komunikasi biasanya dilakukan untuk mengukur efektivitas suatu kegiatan atau program komunikasi. Dalam sebuah organisasi, (sebagai bagian dari fungsi public relations) audit komunikasi diperlukan untuk: Continue reading
Ada dua alasan mengapa seorang peneliti menggunakan dua paradigma sekaligus.
Pertama, untuk kelengkapan data. Peneliti menganggap data yang telah didapatnya belum memadai untuk dianalisis guna mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan. Biasanya hal ini dialami oleh peneliti yang pada awalnya menggunakan paradigma kualitatif, kemudian melengkapi datanya dengan penelitian yang bersifat kuantitatif. Misalnya seorang peneliti yang menggunakan metode Studi Kasus. Menurut Rachmat Kriyantono, Studi Kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis (Kriyantono, 2006). Jadi poin pentingnya adalah ”kelengkapan data” dan ”komprehensivitas”. Maka demi kelengkapan data ini, penelaahan berbagai sumber data pun menggunakan berbagai macam instrumen (teknik) pengumpulan data mulai dari wawancara mendalam, observasi partisipan, dokumentasi-dokumentasi, kuesioner (survei), rekaman, bukti-bukti fisik, dan lain-lain.
Contoh: dalam penelitian studi kasus mengenai Perang Tarif dalam Iklan-iklan Operator Telekomunikasi, peneliti tidak hanya:
- Mengumpulkan dokumen-dokumen (penelusuran dokumen) berita mengenai target penjualan maupun hasil-hasil yang telah dicapai dari perusahaan-perusahan telekomunikasi sebagai indikator adanya persaingan bisnis ketat yang melatarbelakanginya, dokumen-dokumen regulasi telekomunikasi, serta dokumen-dokumen berisi statement dari pejabat perusahaan yang relevan,
- Wawancara mendalam manajer pemasaran perusahaan Telekomunikasi, strategic planner, account director dan creative director biro iklan pembuat konsep iklannya, namun juga:
- Peneliti dapat menyebar kuesioner (survey) ke konsumen pelanggan operator telekomunikasi untuk mengetahui persepsi mereka mengenai perang tarif dalam iklan-iklan operator telekomunikasi.
Metode survey adalah metode kuantitatif. Jadi pada tahap ini, peneliti telah menggunakan dua paradigma, kualitatif dan kuantitatif. Namun, biasanya, survey yang dilakukan cenderung lebih sederhana dengan alat analisis statistik yang sederhana pula (statistik deskriptif) karena sifatnya hanya sebagai pelengkap data atau informasi sebelumnya yang telah dikumpulkan melalui metode wawancara mendalam dan penelusuran dokumen (kualitatif). Dengan adanya informasi atau data tambahan dari hasil survey ini, maka informasi yang terjaring menjadi lebih kaya, lengkap dan insightful. Sehingga, deskripsi detil hasil akhir penelitian pun benar-benar komprehensif dan memberikan kesimpulan yang meyakinkan.
Alasan kedua, karena kebutuhan penelitian. Setelah data terkumpul, kemudian diolah, peneliti merasa kurang puas dengan hasil penelitiannya, sehingga dia membutuhkan penelitian lanjutan agar lebih komprehensif. Biasanya, hal ini terjadi pada peneliti yang awalnya menggunakan paradigma kuantitatif.
Misalnya saat meneliti persepsi konsumen terhadap iklan-iklan yang menggunakan pesan atribut Award. Peneliti menemukan bahwa mayoritas konsumen tidak begitu peduli dengan atribut Award yang ditonjolkan dalam iklan, bahkan tingkat kepercayaan terhadap prestasi tersebut berada di ambang batas separuh dari keseluruhan responden atau hampir 50%. Peneliti juga menemukan bahwa hampir 100% konsumen mengaku keputusan pembelian mereka tidak dipengaruhi oleh atribut pesan tersebut. Dengan demikian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penonjolan atribut prestasi dalam pesan-pesan iklan secara signifikan tidak efektif dalam memengaruhi persepsi konsumen terhadap merek produk yang diiklankan.
Namun, peneliti merasa penasaran, mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa konsumen mayoritas tidak terpengaruh oleh atribut prestasi tersebut? Mengapa tingkat kepercayaan terhadap prestasi tersebut malah rendah? Apa yang menyebabkan semua itu? Bagaimana sebetulnya mereka melihat performance dan prestasi sebuah merek produk? Bagaimana sebetulnya mereka menilai ajang-ajang penghargaan prestasi tersebut? Dan prestasi bagaimana yang membuat mereka percaya? Apakah prestasi tersebut juga memengaruhi keputusan pembelian mereka? Atau ada faktor-faktor lain?
Karena itu, peneliti merasa perlu melakukan wawancara mendalam (depth interview) atau dengan focus group discussion kepada beberapa responden yang terseleksi. Sehingga, dalam pembahasan hasil penelitian, peneliti tidak hanya memaparkan atau menjelaskan hasil analisis statistik, namun juga dapat menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya hasil penelitian tersebut. Ia tidak hanya menjelaskan makna-makna angka, tetapi juga makna di balik angka. Di sinilah peneliti telah menggunakan dua paradigma sekaligus, yakni kuantitatif dan kualitatif.
Namun demikian, dalam penelitian paradigma ganda ini, peneliti sebaiknya tetap berpedoman pada satu paradigma utama, sementara paradigma yang lain hanya sebagai pendukung atau pelengkap. Hal ini agar memberikan kejelasan bobot ilmiah dari hasil penelitian yang dipaparkan. Karena, bagaimanapun, penilaian kualitas penelitian terhadap setiap paradigma memiliki cara pandang dan lantasan teoritis sendiri. Misalnya, bobot generalisasi yang ditelurkan dari sebuah penelitian yang 50%nya diwarnai paradigma kualitatif tentu tak dapat disejajarkan dengan bobot generalisasi dari hasil penelitian murni kuantitatif atau >70% kuantitatif. Bahkan, bisa jadi, hasil penelitian baik berupa generalisasi (kuantitatif) maupun preposisi (kualitatif) akan diragukan kualitasnya jika dalam penggunaan paradigma ganda ini kedua paradigma memiliki porsi yang seimbang (sejajar), karena dianggap tanggung atau justru membingungkan.
Itulah mengapa, sebelum memutuskan untuk menggunakan paradigma ganda, peneliti benar-benar harus memiliki alasan yang sangat kuat dan mampu mempertanggungjawabkannya secara metodologis karena hal tersebut berimplikasi pada kualitas hasil penelitian. Jika tidak “perlu-perlu amat”, lebih baik fokus pada satu paradigma saja sehingga bobot ilmiah yang tercermin pada hasil penelitiannya pun jelas.