Ada dua alasan mengapa seorang peneliti menggunakan dua paradigma sekaligus.
Pertama, untuk kelengkapan data. Peneliti menganggap data yang telah didapatnya belum memadai untuk dianalisis guna mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan. Biasanya hal ini dialami oleh peneliti yang pada awalnya menggunakan paradigma kualitatif, kemudian melengkapi datanya dengan penelitian yang bersifat kuantitatif. Misalnya seorang peneliti yang menggunakan metode Studi Kasus. Menurut Rachmat Kriyantono, Studi Kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis (Kriyantono, 2006). Jadi poin pentingnya adalah ”kelengkapan data” dan ”komprehensivitas”. Maka demi kelengkapan data ini, penelaahan berbagai sumber data pun menggunakan berbagai macam instrumen (teknik) pengumpulan data mulai dari wawancara mendalam, observasi partisipan, dokumentasi-dokumentasi, kuesioner (survei), rekaman, bukti-bukti fisik, dan lain-lain.
Contoh: dalam penelitian studi kasus mengenai Perang Tarif dalam Iklan-iklan Operator Telekomunikasi, peneliti tidak hanya:
- Mengumpulkan dokumen-dokumen (penelusuran dokumen) berita mengenai target penjualan maupun hasil-hasil yang telah dicapai dari perusahaan-perusahan telekomunikasi sebagai indikator adanya persaingan bisnis ketat yang melatarbelakanginya, dokumen-dokumen regulasi telekomunikasi, serta dokumen-dokumen berisi statement dari pejabat perusahaan yang relevan,
- Wawancara mendalam manajer pemasaran perusahaan Telekomunikasi, strategic planner, account director dan creative director biro iklan pembuat konsep iklannya, namun juga:
- Peneliti dapat menyebar kuesioner (survey) ke konsumen pelanggan operator telekomunikasi untuk mengetahui persepsi mereka mengenai perang tarif dalam iklan-iklan operator telekomunikasi.
Metode survey adalah metode kuantitatif. Jadi pada tahap ini, peneliti telah menggunakan dua paradigma, kualitatif dan kuantitatif. Namun, biasanya, survey yang dilakukan cenderung lebih sederhana dengan alat analisis statistik yang sederhana pula (statistik deskriptif) karena sifatnya hanya sebagai pelengkap data atau informasi sebelumnya yang telah dikumpulkan melalui metode wawancara mendalam dan penelusuran dokumen (kualitatif). Dengan adanya informasi atau data tambahan dari hasil survey ini, maka informasi yang terjaring menjadi lebih kaya, lengkap dan insightful. Sehingga, deskripsi detil hasil akhir penelitian pun benar-benar komprehensif dan memberikan kesimpulan yang meyakinkan.
Alasan kedua, karena kebutuhan penelitian. Setelah data terkumpul, kemudian diolah, peneliti merasa kurang puas dengan hasil penelitiannya, sehingga dia membutuhkan penelitian lanjutan agar lebih komprehensif. Biasanya, hal ini terjadi pada peneliti yang awalnya menggunakan paradigma kuantitatif.
Misalnya saat meneliti persepsi konsumen terhadap iklan-iklan yang menggunakan pesan atribut Award. Peneliti menemukan bahwa mayoritas konsumen tidak begitu peduli dengan atribut Award yang ditonjolkan dalam iklan, bahkan tingkat kepercayaan terhadap prestasi tersebut berada di ambang batas separuh dari keseluruhan responden atau hampir 50%. Peneliti juga menemukan bahwa hampir 100% konsumen mengaku keputusan pembelian mereka tidak dipengaruhi oleh atribut pesan tersebut. Dengan demikian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penonjolan atribut prestasi dalam pesan-pesan iklan secara signifikan tidak efektif dalam memengaruhi persepsi konsumen terhadap merek produk yang diiklankan.
Namun, peneliti merasa penasaran, mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa konsumen mayoritas tidak terpengaruh oleh atribut prestasi tersebut? Mengapa tingkat kepercayaan terhadap prestasi tersebut malah rendah? Apa yang menyebabkan semua itu? Bagaimana sebetulnya mereka melihat performance dan prestasi sebuah merek produk? Bagaimana sebetulnya mereka menilai ajang-ajang penghargaan prestasi tersebut? Dan prestasi bagaimana yang membuat mereka percaya? Apakah prestasi tersebut juga memengaruhi keputusan pembelian mereka? Atau ada faktor-faktor lain?
Karena itu, peneliti merasa perlu melakukan wawancara mendalam (depth interview) atau dengan focus group discussion kepada beberapa responden yang terseleksi. Sehingga, dalam pembahasan hasil penelitian, peneliti tidak hanya memaparkan atau menjelaskan hasil analisis statistik, namun juga dapat menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya hasil penelitian tersebut. Ia tidak hanya menjelaskan makna-makna angka, tetapi juga makna di balik angka. Di sinilah peneliti telah menggunakan dua paradigma sekaligus, yakni kuantitatif dan kualitatif.
Namun demikian, dalam penelitian paradigma ganda ini, peneliti sebaiknya tetap berpedoman pada satu paradigma utama, sementara paradigma yang lain hanya sebagai pendukung atau pelengkap. Hal ini agar memberikan kejelasan bobot ilmiah dari hasil penelitian yang dipaparkan. Karena, bagaimanapun, penilaian kualitas penelitian terhadap setiap paradigma memiliki cara pandang dan lantasan teoritis sendiri. Misalnya, bobot generalisasi yang ditelurkan dari sebuah penelitian yang 50%nya diwarnai paradigma kualitatif tentu tak dapat disejajarkan dengan bobot generalisasi dari hasil penelitian murni kuantitatif atau >70% kuantitatif. Bahkan, bisa jadi, hasil penelitian baik berupa generalisasi (kuantitatif) maupun preposisi (kualitatif) akan diragukan kualitasnya jika dalam penggunaan paradigma ganda ini kedua paradigma memiliki porsi yang seimbang (sejajar), karena dianggap tanggung atau justru membingungkan.
Itulah mengapa, sebelum memutuskan untuk menggunakan paradigma ganda, peneliti benar-benar harus memiliki alasan yang sangat kuat dan mampu mempertanggungjawabkannya secara metodologis karena hal tersebut berimplikasi pada kualitas hasil penelitian. Jika tidak “perlu-perlu amat”, lebih baik fokus pada satu paradigma saja sehingga bobot ilmiah yang tercermin pada hasil penelitiannya pun jelas.
Hermin
berbicara mengenai riset dg metode kualitatif sebenarnya bukan asal menggali informasi dan karena jumlah sampel yang sedikit jadi disampaikan secara deskriptif. Metode kualitatif yg diyakini akan dipergunakan mestinya diuji dulu (apakah benar-benar dapat dipakai sebagai sebuah teknik survey kualitatif yang valid). Selain itu, peneliti perlu sangat berhati-hati dalam menyampaikan deskripsi data. Hal ini terkait dengan pemilihan responden. Bukan begitu ?
LikeLike
indri
metode kualitatif identik dengan wawancara gak ya….
LikeLike
bambangsukmawijaya
mungkin yang Anda maksud adalah wawancara mendalam atau tidak terstruktur. Karena dalam penelitian kualitatif yang diutamakan adalah kedalaman informasi, jadi mau nggak mau harus melalui wawancara mendalam, biasanya ditandai dengan kata tanya: mengapa, atau bagaimana?
Dalam kuantitatif, wawancara dengan kuesioner juga ada, tetapi tidak menggali informasi di balik data, cukup di permukaannya saja dan biasanya sangat terstruktur (udah ada ukuran-ukurannya).
Demikian penjelasan saya.
thx, B.
LikeLike
inot soesina
KALO AKU LEBIH KE KUANTITATIF,KARENA MENGUPAS DENGAN DATA DATA ANGKA YG LEBIH AKURAT,MEMBUKTIKAN SATU HIPOTESA KETIMBANG KUALITATIF YG FOKUS PADA OBSERVASI
LikeLike
Eghaliter The Musafir
Mas bambang, saya mohon maaf sebelumnya, tulisan mas saya pakai untuk bahan rujukan tugas, terimakasih. Tulisannya sangat bermanfaat.
Saya sendiri juga masih belum menguasai teori ini, apalagi sekarang menjelang skripsi. Saya bisa konsultasi lewat blog tentang penelitian kuali kuanti? Terimakasih
LikeLike
tamy
bagaimana cara menjawab test kuantitatif pada saat tes tulis untuk memperoleh pekerjaan ? conto h : 126 123 56 2 ..
thanks
LikeLike
bambangsukmawijaya
waduh, itu test psikologi, bukan metode penelitian.. maaf sekali saya tidak bisa menjawabnya, mungkin bisa cari di buku2 psikologi praktis atau buku2 panduan menghadapi tes masuk kerja..
ok, semangat ya Tamy. moga sukses..
salam,
B
LikeLike
ridwan fauzi
menurut anada metode penelitian yang paling baik untuk periklanan yang seperti apa?
trims
LikeLike
bambangsukmawijaya
Jika Anda ingin melakukan penelitian, jangan langsung metodenya dulu yang Anda pikirkan, tapi MASALAH APA YANG AKAN ANDA TELITI.
Dari masalah itu, Anda akan tahu tujuan Anda meneliti, mengapa Anda ingin meneliti tema itu (latar belakang masalah/ penelitian), adakah teori atau penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tema dan masalah yang Anda teliti, baru tentukan: sebaiknya menggunakan metode yang mana.
Banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk masalah2 yang berkaitan dengan periklanan. Yang pasti, bisa Kualitatif, bisa Kuantitatif. Tergantung apanya dulu yang akan Anda teliti. Untuk meneliti tingkat awareness suatu iklan, tentu harus gunakan Kuantitatif. Tapi kalau ingin menggali pemaknaan simbolik dari konsumen terhadap suatu iklan, atau ingin mengetahui proses kreatif maupun strategi di balik layar sebuah iklan, ya harus Kualitatif. Liat dulu masalahnya, apa yang akan Anda teliti.
Moga penjelasan singkat ini cukup bermanfaat.
salam,
B
LikeLike
Sistiyono
Saya sedang buat tugas akhir dengan metode kuantitatif menggunakan pendekatan survei (instrumen pakai kuesioner). tetapi akhirnya sama dosen disuruh pakai metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Dimana metode kualitatif sebagai penjelas hasil metode kuantitatif.
Pada hal judul saya analisa pengaruh X terhadap Y disuatu organisasi.
Variabel X ada 8 sub variabel dan Y ada 4 sub variabel
Yang menjadi persoalan apakah X dan Y ini dikaji secara detail kualitatifnya dan bagaimana porsinya ?
Bagaimana menurut pendapat bapak, mohon penjelasan.
LikeLike
julia
kala riset pemasaran terbaik adalah yang bersifat kualitatif atau yang kuantitatif , berikan alasannya kelebihan dan kekurangan masing – masing ya
tolong di bantu
LikeLike
bambangsukmawijaya
tergantung tujuannya apa.. untuk memahami data secara mendalam, gunakan kualitatif, untuk melihat representasi populasi, gunakan kuantitatif yang bersifat menggeneralisasi kebenaran data
LikeLike