Murahnya Sebuah Harga Diri

Kajian Kritis Iklan Indosat Rp 0,-

Oleh: Bambang Sukma Wijaya

Di sebuah rumah gadai (pelelangan) bergaya interior Eropa klasik.

Seorang juru lelang (dengan gayanya yang berapi-api) membuka sesi penawaran kepada peserta untuk mendapatkan penawar tarif terendah. Seorang wanita separuh baya bergaun ala bangsawan Eropa dengan lagak penuh percaya diri mengacungkan board bertuliskan angka 10. Namun tak lama kemudian seorang laki-laki berpakaian rapi ala bandit elit dengan lagak misterius mengacungkan angka 3. Sang juru lelang semakin semangat menawarkan kepada peserta lain untuk memberikan harga yang lebih rendah. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh subur dengan raut wajah sinis dan angkuh mengacungkan angka 1. Di pikirannya, angka 1 pasti tak ada lagi yang mengalahkan. Tak ada lagi tawaran nilai yang lebih rendah dari angka 1.

Sang juru lelang pun memutuskan untuk mengetuk palu kemenangan bagi si wanita bertubuh subur. Namun, sebelum palu benar-benar diketukkan, tiba-tiba seorang wanita bergaun hitam nan anggun melangkah maju dengan mengacungkan angka 0. Sang juru lelang tak jadi mengetuk palu. Wajahnya ganti ternganga nyaris tak percaya melihat nilai tawaran serendah itu. Begitu pula dengan pengunjung rumah gadai tersebut tak kalah tercengangnya. Bahkan pelayan pun ikut terperangah hingga tanpa sadar menumpahkan air teh dari teko ke pangkuan seorang pengunjung.

Sang wanita bergaun hitam anggun (Dian Sastro) tetap melangkah penuh percaya diri ke depan dengan wajah tersenyum. Entah karena haru atau tak rela melepaskan nilai terendah Rp 0,- sang juru lelang tiba-tiba menyeka sudut matanya yang basah dengan sapu tangan. Suasana dramatis dan haru juga terlihat pada pelayan yang saling berangkulan disertai pekikan sang juru lelang, sebelum akhirnya palu kemenangan diketukkan.

Sang wanita pemenang yang tak lain adalah Dian Sastro kemudian membuka selubung sebuah poster promo Indosat Rp 0,- berbingkai klasik sembari berpose dan tersenyum manis di sampingnya memamerkan poster tersebut.

Iklan dan Semiotika

Ketika sebuah iklan luar ruang sabun mandi GIV yang menampilkan artis Sophia Latjuba ditayangkan di halte-halte bus kota Jakarta pada tahun 2004, iklan itu segera mendapat banyak protes dari beberapa kalangan masyarakat. Bahkan, papan billboard-nya dicorat-coret dan dipiloks orang tak dikenal sehingga rupa estetikanya menjadi rusak. Salah satu kelompok yang memrotes adalah KPI (Kelompok Pembela Islam) yang melihat gambar iklan itu mengandung unsur pornografi. Pose bintang Sophia Latjuba dianggap bisa merusak moral karena mengumbar aurat. Padahal, menurut pembuatnya, iklan itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengumbar sensualitas. Iklan itu hanya ingin menonjolkan kecantikan kulit Sophia Latjuba yang menggunakan sabun GIV. Dan semua masih dalam batas-batas normal.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa iklan dapat dipersepsi dan dimaknai dari berbagai sudut pandang. Pembuatnya bisa saja mengatakan tidak untuk mengumbar sensualitas, namun khalayak menafsirinya sebagai pornografi, dan sebagian lainnya mungkin menafsiri sebagai hal yang mengandung nilai estetika tinggi, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan “manusia memiliki kapasitas luar biasa dalam melihat sesuatu dengan berbagai cara. Rangsangan fisik, jasa, atau produk yang sama pun dapat dilihat dengan berbagai cara” (Sutherland, 2005:34). Sebuah merek, perusahaan atau jasa dapat juga dipahami dengan berbagai cara, tergantung pada kerangka acuan yang digunakan. Kerangka acuan adalah istilah psikologi yang mengacu pada sikap atau pengalaman masa silam.

Iklan, bagaimanapun, adalah sekumpulan tanda-tanda yang bebas ditafsiri. Setiap iklan hendaknya dianggap sebagai suatu sumbangan pada sebuah simbol yang kompleks yaitu citra merek (Ogilvy, 1984:135). Citra yang dihasilkan bisa positif atau negatif atau kedua-duanya, karena simbol pada prinsipnya bersifat sembarang, mana suka atau sewenang-wenang. Makna yang sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada simbol itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan kata-kata atau simbol mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata atau simbol itu mendorong orang untuk memberi makna terhadap simbol tersebut (Mulyana, 2007: 93, 96). Persoalan baru muncul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata atau simbol.

Pada dasarnya, lambang atau simbol yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu yang verbal dan nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal; lambang yang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Sebagai medium ideologis, sangat menarik mengamati dan membongkar isi pesan sebuah iklan. Terutama karena ia tidak semata-mata membentuk makna yang ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna-makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru (Purwantari, 1998 dalam Sobur, 2006: 116, 120).

Implikasi kehadiran iklan dalam ruang hidup kita memang sangat luas. Selain memberi kontribusi ekonomis bagi pemilik modal, melalui simbol-simbol yang dimunculkan dalam pesan-pesan dan tampilan visualnya, iklan juga memberi pengaruh pada suatu perubahan sosial. “Advertisements do more than inform or persuade. They eloquently translate feelings and opinions. Through advertising and the media we receive an enormous amount of ‘silent’ information: how to act in relation to people, property and ourselves. And that information is a barometer, attuned to social change.” (Berman, 1980: 18). Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak kalangan menilai iklan adalah suatu obyek yang menarik untuk dikaji, terutama dalam ranah komunikasi dan semiotika.

Teori Dekonstruksi Derrida

Jacques Derrida dilahirkan pada 1930 dalam keluarga Yahudi di El Biar, Aljazair. Lewat suatu pendekatan yang disebut sebagai “pembongkaran” atau “dekonstruksi”, Derrida memulai penelitian mendasar pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas. Agak berbeda dengan pendahulunya, Derrida bukan seorang pembuat mitos baru. Ia tidak berusaha menyusun sesuatu yang baru berdasarkan yang lama. Tujuannya bersifat destruktif (menghancurkan), menghancurkan tradisi logosentris Barat. Ia tidak memberi penafsiran begitu saja terhadap suatu teks. Ia juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian mengenai praandaian-praandaian dalam implikasi-implikasi dalam teks-teks yang dibicarakan. Ia menyusun teksnya sendiri dengan “membongkar” teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri (Sobur, 2006: 96).

Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Puncak Dekonstruksi Derrida, yang disebut banyak ahli sebagai dekonstruksi postmodernisme terutama dalam kaitannya dengan bahasa, dikemas dengan dua pokok, yakni: mimesis tanpa asal-usul (mimesis without origin) dan apokalips tanpa akhir (apocalypse without end) (Tedjoworo, 2001 dalam Sobur, 2006: 101). Ini menerangkan bahwa penghancuran yang dilakukan Derrida membuat makna bersifat melayang dan bebas dengan kawalan suatu ideologi yang senantiasa menyertainya.

Ilustrasi tabung di atas memperlihatkan kedua ujungnya yang rusak (hancur) sehingga tak dapat dikenali mana pangkal dan mana ujung. Mana subyek dan mana obyek. Tabung tersebut lalu berkembang-biak secara tak beraturan dengan bentuk ketakberaturan yang serupa, tanpa akhir. Melayang-layang dan membiakkan tabung-tabung baru dengan bentuk ketakberaturan serupa, terus-menerus.

Tabung tersebut dapat diibaratkan sebagai makna yang ter- dan ber-bungkus ideologi atas suatu obyek. Sifatnya yang abiner dan terbolak-balik membuatnya tak bisa dipandang secara obyektif dalam hukum-hukum rasionalisme dan positivisme lazim, karena ketidaktetapan dan keterbukaan yang bebas terhadap pemaknaan ideologis lain memungkinkan munculnya hukum-hukum pemaknaan subyektif baru dan luas.

Berbeda dengan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode dan makna-makna, maka semiotika yang dikembangkan Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang mencirikan budaya chaos. Bagi Derrida (2001), “kegelisahan, selalu merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasikan dalam permainan, ditangkap oleh permainan, menjadi seperti semula sejak awal dipertaruhkan dalam permainan”. Bila pada semiotika konvensional yang ditekankan adalah proses ‘signifikasi’, yaitu memfungsikan tanda sebagai refleksi dari kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika pos-strukturalis yang ditekankan adalah proses signifikans, yaitu sebuah proses penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas (Piliang, 2001: 310). Bentuk ungkapan dan makna cenderung mengapung. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna yang pasti (signifier/signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida, yang juga disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau “semiotika ketidakberaturan”.