Oh Bama! It’s So Hillary-ous..: Analisis Strategi Komunikasi Pemasaran Politik Calon Presiden Amerika Serikat 2008
(The Political Marketing Communication Analysis of the US Presidential Candidates 2008)
Oleh: B. S. Wijaya
DOI: 10.13140/2.1.2699.9840
Abstract: The election of U.S. presidential candidate of the Democratic Party in 2008 that exposes Obama versus Hillary has left the important lessons for studies of the political marketing communications. Obama with a background of black race and Hillary with gender background as woman had carved out a new history in the politics of the United States. This article analyzes the competitive landscape of the two candidates with the unique backgrounds, respectively, viewed from the perspective of political marketing communications. Obama’s victory meant that American voters preferred sexist issues that connote gender rather than racial issues, so that candidate who comes from a black race still selected, what is important is the issues that represent the ‘machismo’ America as a strong world leader.
Keywords: political marketing communication, Obama, Hillary, US presidential candidates
Abstrak: Pemilihan calon presiden Amerika Serikat 2008 dari Partai Demokrat dengan pertarungan Obama dan Hillary menyisakan pelajaran penting bagi studi-studi mengenai komunikasi pemasaran politik. Obama dengan latar belakang ras kulit hitam dan Hillary dengan latar belakang gender wanita mencetak sejarah baru dalam perpolitikan Amerika Serikat. Tulisan ini berusaha menganalisis peta persaingan kedua kandidat dengan keunikan latar belakang masing-masing dari perspektif komunikasi pemasaran politik. Kemenangan yang diperoleh Obama memberikan makna bahwa pemilih Amerika lebih menyukai isu-isu seksis yang berkonotasi gender ketimbang isu rasialis, sehingga apapun rasnya tetap dipilih yang penting isu yang diangkat mewakili ‘kejantanan’ Amerika sebagai pemimpin dunia yang kuat.
Kata kunci: komunikasi pemasaran politik, Obama, Hillary, calon presiden Amerika Serikat
DOI: 10.13140/2.1.2699.9840
See full-text paper here: The Political Marketing Communication Analysis of US Prsidential
Adman Nursal
Mas Bambang,
Tulisan Anda menarik sekali. Ada beberapa pertanyaan penting yang dapat diajukan untuk memperdalam kupasan tentang Hillary vs Obama. (1). Mengapat terjadi pergeseran positioning statement Hillary dari Ready to Change menjadi Solutions for America. (2). Apa perbedaan mendasar Ready to Change dengan Change We Can Believe In dalam hal menguatkan positioning ke dalam pikiran dan hati pemilih, (3). Bagaimana kinerja Solutions for America dibandingkan Ready to Change, dst.. dst. Saya sendiri mempunyai pandangan yang berbeda tentang positioning kedua kandidat. Obama mengarahkan pertarungan pada Pemersatu – Pluralis vs Pemecah Belah – Rasialis. Hillary ingin menyetir pertarungan ke arah Kompeten Berpengalaman vs Tak ada track record -Banyak Omong. Tentu saja, saya bisa saja keliru, dan Mas Bambang lebih tepat. Akan tetapi, sebelum ada pengujian empiris, nampaknya pandangan Mas Bambang dan exercise saya bisa dianggap sebagai dua proposisi yang belum bisa dikatakan benar maupun keliru. Wacana yang mungkin dapat memperkaya pemikiran kita. Salam hormat. Adman Nursal
LikeLike
bambangsukmawijaya
Pak Nursal,
Terima kasih atas tanggapan Bapak. Memang benar proposisi kita belum bisa dikatakan benar ataupun keliru hingga race pemilihan presiden AS mencapai garis finis. Saya setuju juga dengan perspektif positioning yang Pak Nursal kemukakan. Hal yang saya amati pada fenomena marketing politik, seringkali campaign positioning statement lebih menonjol dari positioning produk/kandidat itu sendiri. Tidak heran sering terjadi perubahan di tengah jalan, tergantung “kondisi pasar” selama masa kampanye dan lokasi sasaran kampanye. Kejelian tim kampanye untuk memahami/ menangkap sign pasar atau calon konsumen politik benar-benar sangat dibutuhkan. Inilah fenomena menarik yang terjadi di AS setiap kali pemilihan presiden: tim di belakang kandidat bekerja keras secara profesional menangkap “sign” tersebut dan mengemasnya menjadi isu menarik yang elegan. Tak ada toleransi sedikit pun terhadap suatu kesalahan, karena risikonya bisa fatal. Jaga image adalah harga mati… hehehe… kapan ya di Indonesia bisa ‘seprofesional’ itu, jadi kita sebagai penonton bisa mendapatkan ‘tayangan politik’ yang lebih menarik daripada sekadar ‘aksi telenovela’ para aktor politik untuk menarik simpati pemilih yang akhirnya (tak heran) melahirkan ‘pemimpin telenovela’ yang melankolis pula.
Demikianlah pendapat naif saya dari pengetahuan saya yang terbatas.
salam hormat
Bambang.
LikeLike