‘Dendam’ Marketing

Oleh: B. S. Wijaya, praktisi dan pemerhati Komunikasi Pemasaran, tinggal di Jakarta

 

Apa yang terjadi ketika dua tetangga saling bermusuhan? Apalagi jika keduanya jualan barang yang sama. Tentu akan terjadi persaingan ketat dalam memperebutkan pelanggan. Tidak tanggung-tanggung, kadang mereka harus banting harga serendah-rendahnya karena tidak ingin disalipi oleh sang pesaing. Mereka juga akan saling menyerang, saling membalas, saling melecehkan, bahkan saling menjatuhkan.

“Bu, di sini harganya cuma limaribu lho!”

“Alaaa, paling juga harganya udah dinaikin! Di sini bener-bener murah, nggak ada tipu-tipuan. Ayo, Bu, ke sini aja!”

“Oke deh, Bu! Aku kasih harga limaribu plus bonus!”

“Haha… Cuma lima ribu! Di sini aku kasih harga setengahnya. Duaribu lima ratus!”

“Di sini cuma duaribu!”

“Nih aku kasih harga paling murah sedunia: cuma seceng, Bu! Seribu rupiah!”

“Begini aja, Bu, aku kasih limaratus rupiah plus bonus!”

“Di sini aku kasih gratis dah! Nah, apa ada yang lebih murah lagi?”

“Gratis, dari mana untungnya?”

“Suka-suka kita dong! Situ sendiri dari mana untungnya?”

“Dasar monyet!”

“Dasar kambing!”

Pelanggan pun kebingungan. Biarpun merasa diuntungkan dengan harga murah, tapi pelanggan justru menjadi ‘ragu’ dengan tabiat kedua pedagang yang saling bertetangga itu. Iya, dari mana untungnya? Jangan-jangan barangnya ditukar diam-diam dengan kualitas yang lebih jelek. Lagi pula, kalau memberi harga karena emosi sesaat begitu, harga murahnya pun pasti cuma sesaat. Besok-besok, kembali mahal lagi.

Daripada pusing, akhirnya pelanggan meninggalkan kedua pedagang bertetangga itu dan memilih pedagang lain yang lebih ‘jujur’ dan tidak emosional dalam memberi harga.

 

Emotional Price vs Brand Building

Banyak pakar dan praktisi komunikasi pemasaran sepakat bahwa jika Anda ingin membangun brand, maka lupakan perlombaan harga murah dengan kompetitor Anda, karena itu sifatnya hanya sementara dan lebih merupakan tuntutan taktis sales promotion.

Itulah mengapa, meskipun dalam marketing mix unsur harga merupakan salah satu komponen yang diperhitungkan, namun ketika masuk dalam tataran strategis, terutama dalam strategi brand building, maka pricing strategy merupakan sebuah langkah yang sangat serius dan hati-hati. Sikap emosional dalam menentukan harga akan memerangkap brand dalam alur perkembangan yang cenderung kekiri-kirian. Ya, merek ‘berkembang’, namun ‘berkembang’nya ke arah persepsi negatif dan rapuh.

 

Bertahun-tahun Wings dengan produk-produk toiletrisnya menerapkan low-price strategy dalam menghantam sang market leader Unilever. Bukan hanya itu. Wings juga melakukan shadowing marketing dengan meniru atau memirip-miripkan gaya komunikasinya dengan produk-produk Unilever yang sejenis, dengan harapan konsumen mendapatkan “produk Unilever berharga murah” atau berharap persepsi konsumen terkaburkan oleh dua brand di kategori yang sama, hingga akhirnya kurang lebih sejak dua-tiga tahun lalu, Wings mengubah total gaya komunikasinya dengan menekankan pada brand building yang lebih elegan dan bernilai tambah.

Wings menyadari, pertama, dengan melakukan shadowing, maka produk-produknya akan kehilangan identitas dan personality yang kuat. Memang, dalam jangka pendek, konsumen bisa saja ‘terbius’ membeli produk Wings sebagai alternatif murah produk Unilever, namun, lambat laun konsumen akan ‘insyaf’ bahwa untuk membeli produk sekualitas Unilever maka ia harus membeli produk Unilever, bukan yang lain.

Kedua, munculnya brand-brand underdog baru (dengan belanja komunikasi yang tentu saja minim) yang mematok harga lebih murah, serta fenomena menyuburnya private label hypermarket-hypermarket membuat Wings harus angkat tangan. Pemeo satir ‘how low can you go till you die’ akhirnya menyadarkan Wings bahwa brand added value itu penting, ketimbang sekadar bermain-main dengan harga dan melakukan shadowing komunikasi terus-menerus terhadap brand produk sang market leader. Untunglah Unilever tidak terpancing ‘dendam’ yang dapat menjebaknya dalam perang harga yang emosional. Unilever menunjukkan kelasnya sebagai sang pemimpin yang dewasa. Wings justru mendapat ‘balasan’ (atau mungkin bisa disebut karma?) dari pemain lain yang memainkan harga lebih murah sehingga memaksa Wings akhirnya ‘insyaf’ dan kembali ke jalan yang benar dalam membangun brand. Terlihat, belakangan komunikasi Wings akhirnya menjadi lebih elegan, lebih soft-selling, dan memiliki konsep yang lebih mandiri/orisinil. Tentu saja strategi hard-selling atau sales promo tetap ada, namun bukan lagi yang utama dan dominan.

 

XL vs Indosat

Dan lihatlah perang harga (baca: tarif) antara operator selular Indosat dan XL yang sangat fenomenal dengan aksi balas-membalas beberapa waktu lalu. Barangkali tak ada yang dapat menyaingi panasnya perang tarif kedua operator tersebut.

Seperti diketahui, Indosat adalah operator seluler nomor dua di Indonesia dengan jumlah pelanggan sekitar 25 juta, sedangkan XL di posisi ketiga dengan jumlah pelanggan sekitar 16 juta pada awal 2008 ini. Lalu mengapa Indosat harus gelisah dengan kiprah XL? Bukankah logika pasar seharusnya Indosat lebih fokus pada sang market leader yakni Telkomsel? Kita bisa saja berasumsi bahwa Indosat enggan bertarung dengan Telkomsel karena masih ‘saudara dekat’. Namun, mungkin alasan lain lebih menarik untuk ditelisik.

Setelah XL meluncurkan program Rp 0,1/detik, Indosat jadi terusik –apalagi setelah meraba kenaikan jumlah pelanggan XL yang cukup signifikan sejak program Rp 1/detik-nya diluncurkan pada paruh akhir tahun lalu—hingga ikut meluncurkan promosi tarif Rp 0,- melalui program Freetalk Mentari-nya dengan bintang Dian Sastro. Siapa lagi yang dibidik kalau bukan XL. Tentu saja XL dibuat gerah. Betapa tidak, promosi Rp 0,- yang diklaim tarif termurah oleh Indosat tersebut rupanya cuma ‘permainan komunikasi’, karena sesungguhnya tarif itu hanyalah bonus pulsa dari program Freetalk yang sudah lama diluncurkan.

Tak ayal, XL pun membalasnya dengan communication statement yang mencoret tarif Rp 0,- Indosat dan menyebutnya “bukan tarif”. Dengan cara itu, XL ingin ‘mendidik’ konsumen dengan mengatakan bahwa yang dilakukan Indosat adalah tipuan belaka. XL juga ingin memancing Indosat untuk berlaga secara fair (kalau bonus bilang bonus, jangan menyebut tarif), bukan akal-akalan. Indosat menjawabnya dengan Gratis 1 Menit pertama (sekaligus ‘mengoreksi’ promo Rp 0,- sebelumnya). Namun, promosi ini rupanya kurang ‘bunyi’. XL tetap di atas angin. Promo Rp 0,1/detik-nya terlalu menggoda.

Pada titik ini, Indosat harus memutar otak. Jika ia terpancing meneruskan perang di lini main brand Mentari, maka image cost-nya sangat besar. Mentari adalah penyumbang pelanggan terbanyak di perusahaan telekomunikasi yang sahamnya dimiliki STT Singapore tersebut. Maka yang dikorbankan adalah ‘adik’nya, yakni IM3. Entah ini keputusan yang matang atau tidak, seharusnya Indosat memperhitungkan brand asset IM3 yang sudah sangat kuat di pasar anak muda dan boleh dibilang brand leader untuk citra SMS termurah dan terkreatif. Dengan masuk di laga perang jor-joran tarif call, sama artinya dengan menceburkan diri di kolam yang penuh buaya lapar. Kebiasaan dan kebutuhan khas konsumen yang senang SMS tidak bisa serta-merta ditimpali dengan tarif murah call. Pasarnya beda. Dan insight-nya pun beda. Bisa-bisa kenyamanan para pengguna IM3 yang sudah akrab dengan program SMS-nya yang ‘lucu-lucu’, jadi terusik. Inilah kelihatannya yang kurang diperhitungkan oleh Indosat. Faktor emosional yakni keinginan tak mau kalah ataupun nafsu ingin membalas tampaknya telah ‘menutup mata’ Indosat.

Alhasil, IM3-Indosat pun cebur dengan program Rp 0,01/detik-nya. Hanya selang beberapa hari, XL membalasnya dengan tarif yang lebih berani: Rp 0,00000…1 sampe puas! dan, seperti yang bisa ditebak, dua hari kemudian IM3-Indosat membalasnya pula dengan  Rp 0,0000000…1/ detik. XL kemudian mencoba keluar dari pakem hitungan waktu dengan mengganti komunikasinya menjadi Rp 600 sepuasnya. Dan, lagi-lagi, IM3-Indosat tak mau kalah dengan meluncurkan tarif Rp 240,- Untunglah segera hadir Axis sebagai katarsis perang. Sehingga, aksi balas-membalas XL-Indosat pun teralihkan.

Indosat memang bukan Unilever yang secara elegan mampu menahan diri untuk tidak terpancing oleh aksi pricing Wings.  Perusahaan asal Negeri Kincir Angin tersebut cukup ‘membalas’nya dengan strateg sizing yang cantik, sehingga tidak harus mengorbankan reputasinya sebagai sang pemimpin.

Sebuah pelajaran berharga buat merek-merek yang lain.***