PROSES KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN

Oleh: B. S. Wijaya

Dalam komunikasi pemasaran, proses komunikasi bahkan harus dirancang sejak sebelum produk dibuat, karena produk itu sendiri adalah ”pesan”, dan pesan adalah bagian atau unsur dari komunikasi. Karena itu, produk yang baik adalah produk yang lantang ”berbicara”, tidak sayup-sayup atau samar. Sehingga, calon konsumen dapat menangkap dengan jelas apa yang ”disuarakan” produk tersebut. Keuntungan apa yang ditawarkan produk tersebut. Misalnya, sebuah riset etnografis dilakukan terhadap beberapa remaja untuk mengetahui aspirasi (need, dream, desire) mereka terhadap teknologi dan gaya hidup terkini. Rupanya, ditemukan beberapa hal yang menarik. Para remaja tersebut ”mengungkapkan aspirasi”-nya baik secara verbal maupun non verbal bahwa mereka tak dapat dipisahkan dari musik, kemanapun mereka pergi selalu membawa walkman atau discman. Kedua, mereka tak dapat dipisahkan dari teknologi komunikasi, baik handphone maupun internet. Repotnya, untuk dengar musik, mereka harus membawa segepok disc atau kaset sehingga tas mereka sering penuh dan memberatkan. Karena itu, produsen kemudian ”menjawab”-nya dengan menciptakan produk handphone musik yang lebih praktis dan memuat banyak lagu yang tersimpan pada memori chip komputer di dalam handphone tersebut. Jadi produk handphone musik adalah sebuah pesan jawaban terhadap aspirasi remaja.

Demikian pula sebelum merek/brand produk ditetapkan, sebuah proses komunikasi telah berjalan. Merek atau brand adalah lebih dari sekadar nama suatu produk. Dia adalah sebuah pesan. Karena nama tersebut merepresentasikan ”apa yang ingin dikatakan oleh produk tersebut”. Karena itu, pemilihan merek atau nama produk harus dilakukan secara serius dan hati-hati. Jika kita ingin ”to the point” atau berkata secara ”verbal” kepada calon konsumen sehingga konsumen langsung mengetahui ”pesan produk”, maka sebaiknya merek atau nama produk pun langsung bicara apa yang ingin dikatakan, misalnya: Aqua = air, Mie Sedaap = mi yang sedap, Universitas Islam Bandung = Universitas berbasis Islam yang berlokasi di Bandung, Majalah Men’s Health = majalah kesehatan pria. Bandingkan dengan Ades/2Tang/Vit yang bisa ditempelkan pada produk apa saja selain air minum, atau Indomie yang membuat orang masih bertanya-tanya apakah mienya enak atau tidak. Begitu pula misalnya Universitas Ibnu Khaldun atau Yarsi yang membuat orang masih meraba apa benar universitas islam atau bukan dan tempatnya di mana? Begitu pula bila disebutkan Majalah Matra, apakah orang yang baru pertama mendengar langsung mengetahui bahwa itu majalah pria? Itulah mengapa, lebih gamblang atau ”to the point” sebuah merek atau nama produk, maka semakin cepat pula pesan komunikasi produk tersampaikan. Serupa dengan bentuk komunikasi antarpersonal. Semakin ”to the point” kita menyampaikan maksud kita, semakin cepat dan jelas orang lain memahaminya. Bandingkan jika kita menyampaikannya secara berputar-putar dan penuh basa-basi, tentu membutuhkan waktu lama untuk memahaminya. Demikian pula produk, dibutuhkan waktu, biaya dan perjuangan panjang agar konsumen memahami pesan produk jika menggunakan nama-nama atau merek yang tidak to the point.

Demikian pula sebelum penjualan, perlu dipertimbangkan kepada siapa produk dijual, sehingga dapat ditentukan dengan cara apa produk didistribusikan dan dijual, menggunakan media apa dan apakah sesuai dengan karakter atau personality produk. Jangan sampai terjadi barang sudah dipasar, tetapi pesan dan cara berkomunikasi baru dipikirkan. Kemungkinan besar dapat terjadi miskomunikasi dan ketidaksinkronan. Pada tahap penjualan, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengaktivasi pesan produk maupun merek, sehingga konsumen percaya dan tertarik membelinya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kebiasaan-kebiasaan konsumen dalam berbagai perspektif, media personal apa yang digunakan, gaya hidup, tempat berkumpul dan bersosialisasi, serta perilaku-perilaku pembelian mereka. Sehingga dapat ditentukan program apa yang dapat dibuat untuk merangsang langsung pembelian produk.

Pada tahap pemakaian, perancang komunikasi harus memikirkan cara bagaimana agar konsumen tertarik untuk membeli lagi produk (repeat order/buying). Karena itu yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan terhadap produk, layanan konsumen dan terhadap program-program yang telah dijalankan. Keluhan-keluhan, pendapat, kritik dan saran konsumen merupakan dasar pijakan penting untuk membuat komunikasi yang strategis dalam menciptakan pembelian kembali konsumen terhadap produk yang dijual. Hal inilah yang mampu –secara bertahap—mengubah status ”konsumen” menjadi ”pelanggan” produk.

Sedangkan pada tahap pasca pemakaian, perancang komunikasi harus memikirkan bagaimana agar konsumen setia atau loyal terhadap produk atau merek dan bahkan membuat mereka dengan penuh semangat menularkan pengalaman manis mereka kepada orang lain. Lebih dari itu, mereka bahkan berusaha membujuk orang lain untuk ikut mencoba atau membeli produk. Karena itu, medium yang patut dipertimbangkan adalah medium word-of-mouth, experiental marketing, community marketing, ambient media marketing, marketing public relation, maupun brand social responsibility.