Kultur Barat dalam Dunia Iklan Indonesia Dipandang dari Sudut Teori Ketergantungan dan Modernisasi

Oleh: B. S. Wijaya

Pada tahun 2005, dunia periklanan Indonesia dikejutkan oleh fenomena pemutusan hubungan kerja besar-besaran di biro iklan multinasional nomor satu yakni Lowe Indonesia. Selama ini masyarakat periklanan dan para praktisi maupun akademisi pemasaran mengenal Lowe Indonesia sebagai agency yang sehat, bereputasi sangat baik, bermodal kuat sebagai agency yang memiliki billing terbesar hingga mendudukkannya sebagai agency nomor satu di Indonesia, dan yang tak kalah penting: sering memenangkan penghargaan kreatif di ajang festival iklan nasional, bahkan kerap menjadi Agency of The Year. Jadi, suatu hal yang muskil jika agency yang awalnya merupakan inhouse agency PT Unilever Indonesia itu tiba-tiba terancam bangkrut hingga mem-PHK karyawan-karyawannya. Terlebih, sebagian besar karyawan yang di-PHK tersebut adalah tenaga-tenaga kreatif.

Rupanya, faktor penyebabnya bukan karena Lowe kekurangan modal hingga terancam bangkrut, namun ada faktor kebijakan global yang memengaruhinya. PT Unilever sebagai klien utama Lowe menetapkan kebijakan baru yang hanya menayangkan konsep iklan global untuk semua merek produk globalnya di seluruh dunia. Itu berarti, tidak ada konsep iklan baru yang dibuat di Indonesia. Tugas agency hanya mengadaptasi konsep iklan global tersebut ke bahasa setempat. Dengan demikian tidak diperlukan tenaga kreatif yang banyak.

Peristiwa tersebut menyadarkan masyarakat periklanan Indonesia tentang pengaruh kekuatan global yang tidak saja mencengkeram organ kebijakan perekonomian makro nasional melalui tangan IMF, tetapi juga kebijakan perekonomian mikro melalui jalur privat atau swasta termasuk dunia periklanan yang merupakan salah satu industri kreatif andalan nasional. Tak cukup sampai di situ, pada tahun berikutnya, 2006, agency multinasional lain yakni McCann melakukan tindakan PHK serupa akibat kebijakan efisiensi jaringan globalnya. Agency multinasional lain, Leo Burnett juga mengalami hal yang sama, meskipun dalam lingkup yang lebih kecil.

Teori modernisasi dan ketergantungan agaknya berlaku pula di industri periklanan Tanah Air. Semenjak krisis ekonomi, banyak biro iklan lokal yang rontok. Di lain pihak, biro iklan multinasional menjamur. Industri periklanan nasional akhirnya harus bergantung pada modal asing untuk dapat tetap bertahan dan tumbuh. Tapi akibatnya, industri ini pun harus takluk pada segala kebijakan global yang memengaruhinya, termasuk kebijakan efisiensi melalui pemutusan hubungan kerja karyawannya. De Santos dalam tesisnya mengenai teori ketergantungan menyebutkan salah satu model ketergantungan yang menimpa negara-negara dunia ketiga adalah ketergantungan finansial- industri, yang membawa konsekuensi pengendalian melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan finansial-industri.

Konsekuensi lain adalah dalam konteks globalisasi kultur. Bukan rahasia lagi, bahwa kultur Barat sangat mewarnai iklim komunikasi maupun iklim organisasi perusahaan-perusahaan periklanan dalam negeri. Mereka yang mahir berbahasa asing akan bernilai lebih tinggi dibandingkan mereka yang gagap dalam berbahasa asing. Bahkan semua yang berbau Barat dianggap lebih berkelas. Presentasi kepada klien lokal pun tetap dianggap lebih hebat bila disajikan dalam bahasa atau istilah-istilah asing (baca: Inggris), meskipun isinya belum tentu sehebat bahasanya. Sehingga tak heran, produk-produk iklan yang dihasilkan pun selalu mengorelasikan citra Barat dengan citra kelas atas yang hebat, dan citra lokal dengan citra kelas bawah yang kampungan.

Bukan hanya itu, perusahaan-perusahaan periklanan yang memiliki tenaga asing akan dianggap lebih bonafid daripada perusahaan yang hanya mengandalkan semata-mata tenaga lokal. Padahal, kenyataannya tidak semua tenaga asing itu berkualitas, baik secara kreatif maupun strategi, dan tidak semua tenaga lokal memiliki kualitas di bawah tenaga asing. (Bisnis Indonesia, 2008).

Globalisasi kultur ditelaah pertama kali oleh ahli antropologi-sosial B. Malinowski (1884-1942) dan A.R. Radcliffe Brown (1881-1955) yang melihat fenomena kontak, benturan atau konflik kultural ketika peradaban Barat merasuk ke dalam kultur pribumi di kawasan jajahan mereka. Terdapat dua jenis pandangan mengenai kontak kultural ini. Pertama, pandangan yang melihat kontak kultural sebagai imperialisme kultural yang menimbulkan bencana besar. Dalam masyarakat moderen, kontak kultural semacam ini ditimbulkan oleh pertumbuhan “westernisasi” (Amerikanisasi), yang mana terjadi proses “penyelarasan kultural” tanpa teladan historis sehingga berbagai sistem kultur dunia yang menonjol mengalami kemerosotan (Hamelink, 1983). Komersialisasi dan dijadikannya produk kultural sebagai komoditi membuat kualitas produk menurun ke tingkat terbawah.

Kedua, pandangan yang dipengaruhi konsep modernisasi berkaitan dengan keinginan untuk menyusul masyarakat paling maju, ada kesiapan merangkul pola Barat sebagai cara atau syarat emansipasi masyarakat atau setidaknya merupakan simbol kemajuan peradaban. Inilah yang menjadi sikap khas kaum elit terpelajar, elit politik dan elit ekonomi di negara jajahan (Sztompka, 2007:109).

Hal itu pula yang terlihat pada fenomena dunia periklanan di Indonesia. Kaum elit periklanan banyak yang berkiblat ke Barat, bahkan cenderung “menyembah”-nya. Gaya hidup keseharian mereka meniru gaya hidup para ekspatriat, alih-alih mengadopsi teknologi kreatif dan keterampilan strategis ekspatriat itu. Tak heran, paradigma orang iklan mengenai standar kreativitas tinggi selalu mengacu pada iklan-iklan yang dibuat oleh negara-negara Barat. Padahal cara mengontruksi realitas sosial budaya dan cara berkomunikasi mereka berbeda dengan bangsa kita. Maka ketika diikutkan pada ajang penghargaan kreatif iklan internasional, karya kreatif iklan bangsa kita lebih sering dianggap memiliki tingkat yang rendah karena lebih banyak mengekor kreativitas negara lain, atau dengan kata lain tidak memiliki kepribadian dan orisinalitas yang kuat (Media Indonesia, 2008).

Dalam periode belakangan ini, unifikasi dan homogenisasi kultur pada skala global umumnya ditampilkan melalui media massa terutama TV, dan tidak terkecuali iklan-iklan asing (global) yang ditayangkan di dalamnya. “Imperialisme media” telah mengubah dunia menjadi “dusun global” (global village) di mana lingkup pengalaman kultural dan produknya pada dasarnya adalah sama. Media memiliki pengaruh dalam pembentukan pesan serta pembentukan ulangnya secara terus-menerus dalam individu, masyarakat, dan persepsi kultur serta pemahaman dunia (McLuhan, 2005: 15).

Padahal, iklan dan produk-produk kultural lainnya yang hadir di berbagai media adalah menunjukkan identitas sebuah bangsa. Jika semua menghadirkan hal yang seragam, maka identitas itu pun menjadi kabur. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan oleh Norman Douglas dalam karyanya South Wind (1917):

You can tell the ideals of a nation by its advertisements.”

Kesimpulan

Beberapa hal penting dan menarik yang dapat disimpulkan dari uraian di atas antara lain:

  • Proses dan dampak modernisasi juga merambah dunia periklanan. Konsep-konsep kreatif iklan Barat menjadi acuan dan standar kualitas yang banyak diikuti oleh insan-insan periklanan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Sehingga biro-biro iklan yang memiliki tenaga asing dianggap lebih berkualitas dibandingkan tenaga lokal.
  • “Pemujaan” terhadap Barat sebagaimana disinyalir Bendix, Tiryakian dan Chodax yang mengritisi konsep dalam teori modernisasi tercermin pula dari konsep-konsep kreatif yang dihasilkan insan kreatif Tanah Air. Segala hal yang berbau asing (baca: Barat) dianggap lebih berkelas dan yang berbau lokal dikonotasikan ke kelas yang lebih rendah, demikian pula ukuran kegantengan dan kecantikan acap distandarkan pada wajah-wajah keturunan Barat.
  • Ketergantungan finansial-industri negara-negara pinggiran sebagai dikemukakan oleh de Santos, yang mana memberi dampak kekuasaan bagi negara-negara inti (Barat), juga terlihat pada fenomena biro iklan multinasional di Indonesia. Dikarenakan ketergantungan terhadap modal asing, maka biro-biro iklan di Indonesia terpaksa harus tunduk terhadap berbagai pengaruh kebijakan global
  • Globalisasi kultur lewat periklanan dan media massa dapat mengaburkan identitas bangsa-bangsa terutama negara dunia ketiga. Pesan-pesan dan citra produk yang ditampilkan cenderung diseragamkan dengan mengacu pada kultur Barat sebagai negara inti atau istilah Tiryakian, “negara rujukan” atau “negara model” menurut Bendix. Padahal, Norman Douglas mengingatkan bahwa identitas sebuah bangsa dapat dilihat dari iklan-iklannya. Karena itu, perlu dilakukan suatu self-filtered bagi masyarakat terutama di negara-negara dunia ketiga dengan lebih banyak menggali dan memberdayakan potensi-potensi lokal. Peraturan Pemerintah Indonesia No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 tentang Sumber Daya Lokal dalam Siaran Iklan Televisi tampaknya hendak mengakomodir pemikiran ini, meskipun dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan.