Di Barat, orang yang mengampanyekan kelebihan-kelebihan dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (eksistensi diri), dianggap wajar bahkan dianjurkan. Selain agar lebih dikenal, sikap ini juga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Karena itu, tak heran, para tokoh-tokoh politik misalnya seperti di Amerika, tanpa ragu-ragu aktif mengampanyekan diri, menunjukkan kelebihan-kelebihannya, bahkan acapkali menunjukkan kelemahan lawan, menutupi kekurangan diri, dan pada akhirnya dipilih oleh sebagian besar rakyat. Semakin percaya diri dengan kelebihan-kelebihannya, semakin dianggap mampu dan dapat diandalkan. Hal ini juga bisa terjadi di kalangan swasta, atau pada kelompok-kelompok pergaulan kecil, misalnya di kalangan remaja, mahasiswa, dan lain-lain. Menunjukkan kelebihan diri merupakan suatu keharusan untuk memperoleh eksistensi diri dan kepercayaan diri.

Berbeda dengan di Timur. Tindakan memromosikan atau mengampanyekan diri dianggap tidak patut. Orang itu akan dianggap sombong, ambisius, dan pada akhirnya dijauhi. Kita bisa melihat contoh pada pemilihan umum lalu, di mana Amien Rais yang berani mencalonkan diri, bersuara vokal dan hadir di mana-mana untuk menunjukkan kemampuan dan kapasitas dirinya sebagai calon presiden, ternyata banyak mendapat cemoohan karena dianggap sombong dan tidak mengerti budaya Timur yang ‘penuh sopan-santun’. Karena itu, tak heran budaya politik kita adalah budaya politik ewuh pakewuh. Sang pemimpin biasanya dianggap tidak pantas untuk mencalonkan diri, tetapi lebih pantas kalau dicalonkan. Maka yang terjadi adalah ‘rekayasa dicalonkan’. Mengumpulkan konstituen partai, lalu bersepakat meminta restu untuk bersedia dicalonkan, dan jawaban sang ketua/calon presiden sangat klise, “Ya, kalau memang rakyat meminta dan membutuhkan, saya bersedia.” Padahal yang sebenarnya adalah keinginannya sendiri.

Di dunia swasta pun demikian. Jika di film-film Barat kita terbiasa melihat bagaimana calon karyawan begitu meyakinkan memromosikan kelebihan-kelebihan dan kemampuannya pada saat interview dan kemudian mendapat salam selamat bergabung dari pewawancara, di kehidupan kita sehari-hari kadang yang terjadi sebaliknya. Kita malah dianggap high profile dan meragukan. Sehingga, tak heran, para calon karyawan biasanya harus cukup berhati-hati dalam ‘menjual diri’ di hadapan pewawancara agar tidak terkesan sombong dan terlalu percaya diri.

Terlebih dalam pergaulan sehari-hari. Kita terbiasa untuk bersikap ‘munafik’. Sebenarnya ingin dikenal, tapi karena takut dicap sombong akhirnya menggunakan orang lain atau menunggu orang lain mengenal dan mengetahui kelebihan kita pelan-pelan dengan cara ‘menonjolkan diri’ secara diam-diam, misalnya memanfaatkan situasi ketika orang lain sedang membutuhkan, melakukan pembunuhan karakter ‘lawan politik’ dengan memunculkan isu lawan yang high profile bersamaan dengan memunculkan sikap kita yang low profile untuk menarik simpati, atau memanfaatkan rasa kasihan orang lain terhadap kemalangan kita.

Hal ini memberikan gambaran bahwa strategi public relation antara Barat dan Timur pun seharusnya berbeda, karena ternyata dalam memandang suatu sikap dan tindakan promosi diri pun berbeda. (BSW)

Advertisement