Blog ini menampilkan spektrum warna-warni komunikasi dari berbagai sudut pandang

Tag Archives: intermezzo

Brand & Me

by: B. S. Wijaya

This all began one night with an urge to watch a simple, undemanding movie called “Marley and Me.” I was intrigued. When the promotion trailer was shown in theaters a few weeks before the actual film was run, it only presented a few simple scenes of a small dog running on a beachfront, chased by a few adults shouting its name: “Marleeeeyy…,” followed by the title “Coming Soon.” All so simple, so uncomplicated, and yet –for me –so intriguing.

My feelings were answered when I watched the movie and it turned out to be quite an inspiring experience. The story starts with a friend’s suggestion that John Grogan, a reporter for the Philadelphia Inquirer, buy himself a dog to give him and his wife, Jen a taste of parenthood.

The couple went to visit a local pet shop where they bought themselves a small dog – for cheap because it was unwanted – and called it Marley, after the late Bob Marley, the singer. But soon the forewarnings about the dog’s ill behavior were proved true. Marley was hyperactive and uncontrollable. It ran through the house all day, biting and tearing at almost everything that came in his sight and eating more than his normal portion of dog food. He really wreaks havoc, gets kicked out of obedience school.

But surprisingly when Jen lost her first-born baby at its birth, Marley showed his tender side, sitting quietly on Jen’s lap, allowed the brokenhearted woman to embrace it and dry her tears on its furry head. From that moment on, Jen and John gave Marley all the love he deserved as a member of the family.

Until one day, Jen, who by now had to look after two toddlers plus the unruly Marley, aired her feelings of depression on John. When John reminded her that it was all because of her own choice, Jen told him she was depressed not because she had given up her job to look after her family, but because of the unruliness of a small dog called Marley.

Now imagine. What if Marley was a consumer, chosen by us from out of so many market segments to be a target for our product’s brand. What if – when within one specific category everyone controlled the same segment – we had the nerve to choose one particular segment that few other marketers wanted?  To look after it, we create new market opportunities, but when times get rough, crisis looms and challenges emerge, when competitors intensify their attacks, we regret our own choice?  Quite a number of marketers would hastily redefine their segments or broaden their segments in order to secure their brand. But let us learn from Jen. Continue reading


Berhubung banyaknya comment yang masuk, dan terbatasnya waktu luang saya, dengan ini saya mohon maaf kepada teman-teman yang telah mengirimkan comment namun belum sempat saya jawab.

Saya melihat ada lebih dari seratus comment yang masih ke-pending, menunggu response, sebagian besar berupa pertanyaan-pertanyaan seputar metode penelitian, teori-teori, dan komentar artikel lainya.

Dengan segala keterbatasan saya, saya akan coba menjawab semuanya, tapi tidak bisa sekaligus dalam waktu bersamaan. Karena itu saya minta kesabaran teman-teman.

Kadang pertanyaan yang diajukan sebenarnya sudah ada jawabannya (karena topik dan inti pertanyaannya mirip), baik dalam bentuk artikel di kategori lain dalam blog ini, maupun dalam bentuk jawaban-jawaban penanya lain yang sudah saya posting. Karena itu mohon teman-teman mengecek juga artikel-artikel di kategori lain dan/ atau jawaban-jawaban yang sudah saya berikan untuk penanya lain dalam blog ini.

Atas pengertian dan kerjasamanya, tak lupa saya ucapkan terima kasih. Semoga blog ini bermanfaat dan membantu mencerahkan wawasan kita tentang fenomena dan ilmu komunikasi.

salam hangat,

BSW


Di Barat, orang yang mengampanyekan kelebihan-kelebihan dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (eksistensi diri), dianggap wajar bahkan dianjurkan. Selain agar lebih dikenal, sikap ini juga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Karena itu, tak heran, para tokoh-tokoh politik misalnya seperti di Amerika, tanpa ragu-ragu aktif mengampanyekan diri, menunjukkan kelebihan-kelebihannya, bahkan acapkali menunjukkan kelemahan lawan, menutupi kekurangan diri, dan pada akhirnya dipilih oleh sebagian besar rakyat. Semakin percaya diri dengan kelebihan-kelebihannya, semakin dianggap mampu dan dapat diandalkan. Hal ini juga bisa terjadi di kalangan swasta, atau pada kelompok-kelompok pergaulan kecil, misalnya di kalangan remaja, mahasiswa, dan lain-lain. Menunjukkan kelebihan diri merupakan suatu keharusan untuk memperoleh eksistensi diri dan kepercayaan diri. Continue reading


Ada berbagai macam hasil karya ilmiah yang bisa dihasilkan. Ada yang simpel tapi berbobot, ada yang ‘canggih’ dan berbobot, ada yang simpel dan tidak berbobot, dan ada yang ‘canggih’ namun tidak berbobot.

Simpel tapi berbobot adalah karya ilmiah yang disajikan secara jernih, tuturan yang sederhana dan mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun, namun menawarkan sebuah ide baru yang segar. Mencerahkan. Ide itu pun bisa sangat sederhana, ada di sekitar kita dan mungkin sering kita alami sehari-hari, namun tidak kita (dan orang-orang) sadari, sehingga jarang yang menelitinya. Sang peneliti sangat jeli dan kreatif menangkap dan menguraikannya dengan sistematika yang jelas, metode yang dapat dipertanggujawabkan, serta bahasan yang tidak rumit untuk dipahami. Simple, clear, unique and brilliant.

Sedangkan karya yang ‘canggih’ dan berbobot adalah karya yang mengandung analisis-analisis dan teori yang bagus namun penyajiannya demikian ‘ilmiah’ hingga susah dimengerti tanpa dibaca atau ditelaah berkali-kali. Ide yang ditawarkan pun tidak biasa. Unik dan ‘wah’. Tentu saja, secara metodologis pun dapat dipertanggujawabkan. Hasil karya ini barangkali hanya dapat dipahami oleh kaum cendekia yang diberikan anugerah IQ di atas rata-rata, atau kaum akademis terbatas seperti profesor dan doktor. Orang awam, maaf-maaf saja. Boleh, asal tidak ada jaminan jika beberapa hari kemudian menjadi penghuni rumah sakit jiwa 🙂

Adapun karya yang simpel dan tidak berbobot adalah karya yang sangat sederhana dalam penyajian, metode, maupun analisis, sementara ide yang ditawarkan pun biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Mungkin penelitian dengan topik semacam telah banyak yang menelitinya, atau tidak memberi pencerahan baru bagi pembacanya. Biasa-biasa saja. Seperti numpang lewat di benak pembaca. Tak berkesan.

Satu lagi adalah karya yang tampak ‘canggih’ namun kurang berbobot. Penyajian, penggunaan kata-kata, istilah-istilah ilmiah, analisis dan pembahasannya benar-benar ‘luar biasa’. Pembaca akan dibuat takjub saking sulit memahaminya. Mungkin hanya kalangan tertentu seperti kaum cendekia dan akademis terbatas yang sanggup mencernanya. Namun, bila ditelaah benar-benar, sebetulnya tak ada yang istimewa dari ide yang ditawarkan oleh penelitian tersebut. Kesannya saja yang dibuat ‘canggih’ dan sangat ilmiah, namun idenya biasa-biasa saja. Terlalu umum. Tidak mencerahkan. Bisa jadi, penulisnya terbebani ‘sindrom ilmiah’ sehingga berupaya membuah serumit mungkin agar terkesan bobot ilmiahnya tinggi. Pendapatnya, mungkin, makin sulit dipahami orang banyak, makin ilmiah karya tersebut.

Nah, karya ilmiah semacam apakah yang ingin Anda hasilkan? Semua tergantung pilihan Anda.


Masih banyak yang salah kaprah. Metode penelitian yang digunakan adalah Kualitatif, namun pusing memikirkan teori sebelum memulai penelitian.

Padahal, penelitian kualitatif tidak dimulai dari teori, tidak untuk menguji teori atau mengukuhkan teori yang ada. Jadi buat apa bertanya: penelitian ini memakai teori apa ya?

Penelitian kualitatif berangkat dari lapangan dan akhirnya (bisa) menghasilkan teori. Di sinilah uniknya penelitian kualitatif. Peneliti tidak dibebani oleh teori. Bahkan, pada metode grounded theory approach, peneliti langsung terjun ke lapangan sambil merancang penelitiannya. Dari sana baru didesain penelitian,  sambil mengumpulkan informasi dan hasil pengamatan untuk menghasilkan suatu teori baru atas fenomena di lapangan. Namun, bukan berarti bahwa peneliti “cupu” abis. Setidaknya, peneliti juga harus punya wawasan untuk dapat menginterpretasi dan menganalisis fenomena di lapangan. Salah satunya adalah mengetahui teori yang relevan. Salah satu ya, bukan satu-satunya. Yang lain apa? Yang lain adalah pendapat-pendapat, komentar-komentar, kutipan-kutipan pembicaraan, ulasan artikel, jurnal, hasil penelitian yang relevan, bahkan ‘curhat’ yang ada di blog sekalipun jika memang relevan.

Jadi, apa fungsi teori dalam penelitian kualitatif?

Berbeda dengan teori pada penelitian kuantitatif yang menjadi dasar penelitian untuk diuji, maka pada penelitian kualitatif, teori berfungsi sebagai inspirasi dan perbandingan. Mungkin Anda terinspirasi dari suatu teori yang kemudian menjadi kerangka berpikir Anda dalam meng-capture suatu fenomena? Atau ketika Anda menjelaskan dan membahas suatu fenomena, Anda teringat pada suatu teori yang berkaitan dengan fenomena tersebut, maka ungkapkanlah. Teori akan memperkuat penjelasan Anda. Dan memberi warna yang lebih tajam bagi analisis Anda. Namun, teori bukan satu-satunya alat analisis ataupun perbandingan dan bahkan inspirasi Anda. Karena inspirasi bisa datang dari mana saja. Dari sebuah artikel ringan di sebuah majalah ‘ecek-ecek’, dari sebuah ungkapan ngawur di pinggir jalan, dari mana saja. Sepanjang itu membentuk cara berpikir Anda dalam memandang suatu fenomena, maka itu bisa menjadi inspirasi bagi Anda. Jadi, dalam penelitian kualitatif, teori bukan satu-satunya kacamata yang bisa digunakan untuk ‘melihat’. Ada banyak kacamata lain. Karena itu, mengumpulkan segala macam informasi yang relevan serta dari segala macam sumber adalah penting. Karena seperti diulaskan tadi, selain menjadi inspirasi, segala informasi dan rujukan tersebut juga dapat menjadi bahan perbandingan Anda pada pembahasan hasil penelitian.

Saya memberi contoh misalnya sebuah cerita.

Ketika sedang menunggu bus yang lewat, tiba-tiba Resa dikejutkan oleh seorang laki-laki parlente dengan dandanan unik. Laki-laki itu bertanya dengan gaya sok wibawa, namun tak mampu menyembunyikan ‘jari ngetril’-nya. Ini mengingatkan Resa pada sosok ‘Pemburu’ dalam film Quickie Express saat mencoba mendekati tokoh Jojo yang diperankan oleh Tora Sudiro. Yang membedakan hanya potongan tubuh sosok di hadapannya tampak lebih tinggi dan kurus. Begitu pula mobil yang ditepikan di depan halte tampak lebih mengilap dibandingkan milik om ‘pemburu’ dalam film tersebut.

Nah, ungkapan “sosok ‘Pemburu’ dalam film Quickie Express saat mencoba mendekati tokoh Jojo yang diperankan oleh Tora Sudiro” adalah sama fungsinya dengan teori yang menjadi bahan perbandingan dalam pembahasan penelitian kualitatif.

Sedangkan ungkapan “Yang membedakan hanya potongan tubuh sosok di hadapannya tampak lebih tinggi dan kurus. Begitu pula mobil yang ditepikan di depan halte tampak lebih mengilap dibandingkan milik om ‘pemburu’ dalam film tersebut” adalah hasil perbandingan dan analisisnya.

Jadi jelas, teori dalam penelitian kualitatif hanya sebagai bahan perbandingan dan inspirasi, bukan sebagai dasar penelitian untuk diuji keberlakuannya pada fenomena atau masalah yang diteliti. Jadi, kenapa harus repot-repot memikirkan teori apa yang hendak digunakan sebelum penelitian?



%d bloggers like this: