Balada Prita dan Nestapa Konsumen

Oleh: B. S. Wijaya

Bayangkanlah Anda seorang Prita Mulyasari, ibu muda yang harus mendekam di penjara karena surat keluhan konsumen yang dilayangkannya melalui sebuah email dan kemudian tersebar di milis. Prita dituduh bersalah mencemarkan nama baik dan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman kurungan 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 1 miliar. Padahal ibu malang ini hanya mengekspresikan kekecewaannya atas pelayanan dan sikap kurang simpatik sebuah rumah sakit yang dialaminya.

Suatu hal yang wajar, ketika kita sebagai konsumen mengeluarkan sejumlah rupiah untuk mendapatkan hak-hak nyaman menikmati sebuah produk atau layanan, kemudian kita mengeluhkannya karena tidak sesuai harapan atau bahkan merugikan kita. Menulis surat pembaca melalui media pun akhirnya menjadi jalan berikutnya bila keluhan itu tak ditangani dengan baik oleh produsen atau penyedia layanan. Tapi kini, kisah Prita berbicara lain. Jangankan memperoleh penyelesaian yang melegakan, bisa-bisa konsumen langsung masuk bui oleh keluhannya sendiri.

 

Horor hukum

Lepas dari berbagai kontroversi saat Undang-Undang ITE nomor 11 Tahun 2008 (terutama Pasal 27 Ayat 3) pertama dirilis, kini masyarakat mulai tahu siapa yang diuntungkan oleh undang-undang tersebut.

Sekilas terkesan UU itu hendak melindungi hak warga. Namun sesungguhnya mengandung kekuatan terselubung untuk membungkam warga mengeluarkan pendapat, keluhan dan aspirasinya melalui medium digital. Kasus Prita menyadarkan kita bahwa undang-undang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai senjata baru bagi produsen yang tidak mampu mengelola divisi penanganan konsumen dan hubungan masyarakatnya dengan baik. Senjata ini melengkapi pasal pencemaran nama baik KUHP yang selama ini digunakan produsen untuk membungkam konsumen yang ‘ngeyel’ menuntut haknya.

Barangkali kita masih ingat kasus Fifi Tanang, seorang pemilik kios di Mangga Dua beberapa waktu lalu yang dimejahijaukan oleh pengembang pusat perbelanjaan itu karena keluhannya di sebuah kolom Surat Pembaca koran. Fifi pun dikenai pasal pencemaran nama baik, dan divonis 6 bulan penjara bersama tiga konsumen lain.

Jika konsumen terus-menerus dibungkam secara represif menggunakan perangkat aturan hukum, lalu siapa yang akan mengontrol produsen jika merugikan konsumen?

Kita memang memiliki Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, namun agaknya undang-undang yang diharapkan dapat melindungi hak-hak konsumen ini terlindas jauh di bawah UU ITE dan pasal pencemaran nama baik yang cenderung ‘membela’ hak produsen. Kepentingan produsen lebih diperhatikan, sementara kepentingan konsumen diabaikan.

 

Inferioritas Budaya Konsumen

Di samping monster hukum yang terus berjaga di halaman depan produsen, kenyataannya konsumen kita juga memiliki ‘budaya’ pasrah berkaitan dengan keluhan-keluhan dan ketidakpuasan mereka terhadap suatu produk atau layanan. Betapa sering kita melihat (atau bahkan merasakan sendiri) konsumen yang mengambil jalan ‘damai’ dengan merelakan saja hak-haknya tak terpenuhi daripada harus berurusan dengan birokrasi panjang, atau akan menemui kenyataan bahwa keluhan mereka tak tertangani dengan baik bahkan cenderung diabaikan.

Pemikiran bahwa hanya membuang-buang waktu dan energi saja mengurusnya, sementara masih banyak hal lain yang perlu dikerjakan, membuat mereka terpaksa menelan sendiri kekecewaan dan keluhan mereka. Tidak jarang pula konsumen yang berkompromi dengan layanan atau produk yang kurang memuaskan. Ditambah kurangnya informasi mengenai hak-hak hukum dan prosedur pengaduan, konsumen pun akhirnya cenderung melupakan ketidakpuasannya.

Sementara di sisi lain, pengaduan konsumen juga kerap dikendalai oleh ‘lingkungan budaya’ masyarakat kita yang kurang mendukung. Seorang konsumen yang gigih menuntut haknya –apalagi jika nilainya tak seberapa, sering dianggap aneh dan ngeyel, atau ‘hanya mencari masalah saja’. Sehingga tak ayal, banyak konsumen menjadi enggan untuk meneruskan perjuangan menuntut haknya.

Semua kondisi tersebut akhirnya menciptakan inferioritas budaya konsumen yang memprihatinkan dan memberikan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi pasar.

Dengan kenyataan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia adalah surga buat produsen nakal. Apa yang dialami Prita membuat para produsen dapat bersikap pongah dan merasa di atas angin. Alih-alih meminta maaf kepada konsumen jika memberikan pelayanan yang kurang memuaskan, malah menuntut konsumen untuk meminta maaf jika tak ingin dijebloskan ke penjara.

Produsen maupun penyedia layanan di Indonesia akan menjadi juragan lalim yang dapat berbuat semena-mena terhadap konsumen. Pemeo ‘konsumen adalah raja’ hanyalah mitos. Kenyataannya, di Indonesia, produsenlah yang menjadi raja. Dan pemerintah maupun para wakil rakyat yang telah menciptakan undang-undang ‘jebakan batman’ buat konsumen adalah serupa centeng yang siap membela dan mengawal sang raja.

Namun sesungguhnya, meskipun berbagai ‘fasilitas kelas satu’ yang menjamin kelalimannya disediakan pemerintah, para produsen dan penyedia layanan itu tak dapat menyangkali dahsyatnya ‘people power’ konsumen yang sewaktu-waktu siap menyantapnya. Laiknya para gerilyawan pemberontak, akan selalu ada saluran lain untuk menghindari ‘jebakan batman’ penguasa dan diam-diam menyusun kekuatan untuk merebut kembali hak-haknya. Dukungan masyarakat lewat Facebook dan gerakan pengumpulan koin untuk Prita adalah bukti bahwa ‘people (consumer) power’ tak bisa dipandang sebelah mata.

Kediaman konsumen, kepasrahan konsumen, ketidakadilan yang dirasakan konsumen akan menjadi bom waktu yang menghancurkan reputasi produsen itu sendiri. Sehingga produsen tinggal memilih, tetap menjadi raja yang lalim, atau raja yang pengasih dan dikasihi rakyatnya karena selalu melayani dengan sepenuh hati, menjadi sahabat yang sabar mendengar keluhan-keluhan mereka, dan siap sedia membantu menyelesaikan masalah dengan baik.